Kupikir ia masih sendirian.
Ternyata hatinya sudah beriringan.
Kupikir aku akan menjadi tuan putri nya,
Ternyata hanya dijadikan tempat bertanya.
π₯π₯π₯
Patah hati tidak memilih siapa targetnya.
Patah hati jatuh pada siapapun yang hatinya bisa dipatahkan.
Seperti aku.
Semalam kulihat kau online,
Berkelana di media sosial Instagram,
Meng-upload 2 foto beserta caption penunjang.
"Jika ada masalah, yang di putus masalah nya. Bukan hubungannya." Katamu, dalam caption itu.
Kuharap kau baik baik saja,
Seperti aku sekarang,
Ah, apa iya aku baik baik saja?
Oke lupakan.
Ada ber kalimat kalimat yang kau katakan dalam foto itu, yang sangat menunjukkan bahwa kau begitu terluka dan kecewa.
Kasih, aku disini. Siap menjadi seseorang yang kau butuhkan untuk meluapkan keluh kesah. Aku disini, menunggu kau mengabariku. Seperti kau sebelumnya.
Sepertinya, kebahagiaan memang tidak berpihak pada kita berdua. Kau sangat sibuk mencintainya. Sedangkan aku? Mendamba hal yang tak jua mendambaku.
Apakah jatuh cinta memang seperti ini?
Penuh dengan duka dan derita?
Kuharap tidak.
Sebenarnya, dirimu itu maunya apa?
Datang padaku setelah sekian lama.
Kembali lagi dengan membawa luka dan sambat.
Kau tidak bisa memaksa seseorang menjadi seperti apa yang engkau mau. Orang lain memiliki karakter dan keunikan yang berbeda beda.
Kukira, obrolan kita semalam sejenak menghentikan kerisauan dan kekhawatiran mu.
Ternyata, tidak ya.
Sampai pagi tiba, kau masih memikirkan hubunganmu dengan ia yang kau cinta yang sepertinya sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Sepertinya,
Dan,
Kuharap memang begitu.
Mencintaimu menjadi pilihanku pada akhirnya,
Sudah kupikirkan matang matang,
Apa resikonya, bagaimana jika nanti kau tidak juga mencintaiku. Sudah. Dan, kumohon untuk tidak menambah jika jika yang lain.
November ini menjadi hujan,
Disertai petir dan getir.
Aku hujan hujanan,
Menangis tidak bisa diam,
Sambil memikirkanmu dalam-dalam.
"Sana keluar. Hujan-hujanan saja. Menangis juga tidak apa apa. Justru orang lain tidak akan menghiraukanmu." Katamu, semalam.
Kau mengajakku pergi pagi ini,
Mengingatkanku akan perjalanan terakhir kita,
Aku sudah bersiap-siap,
Menunggu kau berkata "otw"
Dengan percaya diri aku berkaca pada cermin,
Membayangkan bagaimana jika wajahku tibatiba memerah ketika hatiku kau panah.
Semalam aku tidak bisa tidur,
Memikirkan apa saja yang akan aku lakukan pagi ini, bersamamu.
Berjalan bersama,
Beriringan,
Bercanda dan tertawa,
Membahas hal yang serius—mengenai kita—atau yang lain, tidak masalah.
Kemudian aku lagi lagi mencuri momen untuk memotretmu,
Dari samping,
Belakang,
Depan,
Dan dari segala sudut.
Lalu saat aku pulang, kucuci fotomu dan kutaruh di dompetku.
Seperti fotomu yang sudah ada di dompetku.
Ah, andaikan bisa sebahagia itu.
Rasanya tidak mungkin,
Tidak mungkin lagi lagi aku jatuh cinta padamu.
Bukan perihal cinta nya,
Tapi mengenai dirimu yang sudah tidak pernah lagi bertanya.
Kau begitu rapuh semalam,
Memberiku sederet kalimat curhatan,
Berharap aku membalas tanpa hati tergoreskan,
Padahal saat ini pun,
Aku hanya bisa mematung.
Menatap diriku yang hatinya sudah tergantung.
"Jangan menjadi budak cinta, fokus menulis saja." Katamu,
Baiklah.
Aku tidak akan pernah menjadi Bucin—budak cinta.
Tapi tetap saja aku Bucin—butuh cinta.
Bagaimana rasanya sekarang?
Sudah baikan?
Mengingat hari ini aku tidak melihat postingan postingan puitismu.
Apakah ia yang kau cinta akhirnya berhenti memberi luka?
Dan? Kamu, melemparnya padaku.
Aku begitu terluka, disini.
Melihatmu yang ternyata bahagia,
Sangat bahagia,
Tanpa aku dalam bagiannya.
Kuharap kau memberiku waktu,
Untuk mempersiapkan hal hal baru,
Seperti, aku—yang pada akhirnya—akan— bersamamu?
Mungkin,
Ya,
Semoga saja.
π
πππΎππΆπ½ππ½ // Nov|04.
Komentar
Posting Komentar